top of page

Anies Mengkristal, Wakilnya dari Timur Indonesia


SEJAK Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan jadwal resmi pelaksanaan Pilpres 2024, mesin partai politik (parpol) pun dipanaskan. Ada yang sudah ambil ancang-ancang untuk berkoalisi, ada pula yang sudah terang-terangan sebut nama bakal calon presidennya. Walau masih ‘malu-malu kucing’, sejumlah parpol sudah memberi isyarat bakal mengusung tokoh tertentu sebagai jagoannya di pilpres nanti. Terlepas soal koalisi untuk memenuhi syarat presidential threshold yang 20 persen.

Satu nama yang cukup mengkristal beberapa hari ini, yakni Anies Baswedan. Walau Anies bakal tak lagi menjadi gubernur DKI Jakarta mulai Oktober 2022 nanti, bukan berarti Anies akan kehilangan panggung politiknya. Parpol pun tampaknya tak ragu untuk tetap mengusung mantan rektor Universitas Paramadina itu.

Saya termasuk yang tidak terlalu gusar dengan urusan panggung politik dengan memanfaatkan jabatan publik. Justru, ketika Anies sudah melepaskan jabatan gubernur DKI-nya, semakin leluasa pula ia memantapkan langkah meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya. Ketika Anies muncul di Aceh atau di Medan, tak ada yang bisa menyoal dan menudingnya bolos kerja untuk pencitraan. Toh, Anies bukan gubernur lagi, bebas mah!

Anies dapat dengan leluasa membangun personal brand-nya, tanpa harus memanfaatkan panggung politik sebagai gubernur DKI Jakarta. Bahkan lebih fair, karena tidak memanfaatkan fasilitas pemerintahan yang dipimpinnya. Saya termasuk yang percaya, panggung politik yang strategis bukanlah ketika seseorang menduduki jabatan publik tertentu. Tapi tergantung kekuatan figur dan strategi political marketing-nya.



Oke, itu soal Anies. Menarik juga mendiskusikan siapa figur yang pantas untuk menjadi wakil presiden, jika Anies benar diusung parpol sebagai capresnya. Dari beberapa nama yang muncul, lebih banyak ‘warga’ istana. Sebut saja Sandiaga S Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ada juga Erick Thohir, menteri BUMN.

Dua nama ini cenderung lebih menonjol aktivitas publiknya dibanding yang lain. Bagi Anda pemilik rekening Bank BUMN, dapat dipastikan kerap ‘bertemu’ dengan Erick Thohir saat menggunakan ATM. Ya, ada video Erick Thohir di layar ATM bicara sebuah program yang diusungnya.

Di luar dua nama ini, perlu juga mempertimbangkan nama lain, figur dari kawasan timur Indonesia (KTI), mengingat Anies mewakili kawasan Indonesia bagian barat. Lantas, siapa figur dari KTI yang pastas maju bersama Anies? Untuk saat ini, mari kita kesampingkan dulu soal survei sebagai dasar dalam menentukan cawapres. Toh, masih ada waktu untuk bekerja meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Masih cukup waktu.

Dalam political marketing strategy, menciptakan ‘alasan memilih’ pada kandidat menjadi urusan paling penting. Sama halnya dengan pemasaran bisnis, ada ‘alasan membeli’ pada setiap produk. Membeli Aqua, karena kualitasnya. Soal harga yang cenderung lebih tinggi tidak jadi masalah, karena Aqua menawarkan value pada target marketnya. Juga ketika konsumen menjatuhkan pilihannya kepada Starbuck untuk urusan ngopi, yakni atas pertimbangan kualitas kopi, tempat yang nyaman, serta merek Starbuck yang dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya. Begitu juga dalam political marketing atau pemasaran politik.

Indonesia masih bisa disebut sebagai negara agraris, negara yang penduduknya banyak bekerja di sektor pertanian. Juga soal upaya pemenuhan kebutuhan akan hasil pertanian, serta potensi Indonesia yang seharusnya menjadi negara nomor satu sebagai negara penghasil produk pertanian. Namun, hingga kini, kita masih menghadapi banyak persoalan di bidang ini.

Persoalan lainnya, yakni korupsi yang semakin kronis. Lihat saja daftar kasus korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Negeri. Membutuhkan komitmen yang tinggi untuk, paling tidak, meminimalisir korupsi di negeri ini.

Dua persoalan di atas, minimal bisa menjadi dasar dalam menciptakan ‘alasan memilih’ pada figur cawapres. Ketika Anies sudah dikenal sebagai figur yang cerdas, sukses memimpin Jakarta, maka cawapres pendampingnya, diperlukan figur yang komitmen terhadap urusan pertanian dan anti korupsi. Indonesia harus mengambil langkah besar yang tak lazim untuk bisa lebih besar, lebih hebat. (Eko Satiya Hushada, direktur eksekutif Brand Politika)


27 views0 comments
bottom of page