top of page
Writer's pictureeko satiya hushada

Big Data untuk ‘Lawan’ Konstitusi



BIG DATA, istilah yang sedang ramai menjadi tema bahasan elit beberapa hari belakangan ini. Awalnya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Tak lama, disusul Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

Keduanya bicara satu tema, bahwa big data yang mereka pegang menyebutkan, dari 110 juta percakapan di media sosial, sebesar 60 persennya, menginginkan pengunduran jadwal Pemilu 2024 hingga tiga tahun ke depan. Dengan demikian, masa jabatan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden, diperpanjang hingga tahun 2027 mendatang.

Big data itu, kata Luhut di kanal Youtube Deddy Corbuzier, Jumat (11/3/2022), menunjukkan ketidaksetujuan rakyat soal penyelenggaraan pemilu pada masa pandemi. Luhut mengklaim rakyat tak mau uang Rp110 triliun dipakai untuk menyelenggarakan pemilu. Jadi serem nih, big data jadi alasan untuk ‘melawan’ konstitusi, melanggar Undang-Undang Dasar 1945.

Meminjam istilah pakar hukum Denny Indrayana dalam surat terbukanya kepada Presiden Joko Widodo, pembataln Pemilu 2024 adalah sikap yang terang-benderang menabrak UUD 1945. Bukan hanya satu, tapi banyak pasal yang dilanggar. Di antaranya adalah soal Indonesia negara hukum, Pasal 1 ayat (3). Menghilangkan pemilu menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat), dan jauh menyimpang dari negara berdasarkan hukum (rechtstaat).

Dalam tulisan ini, saya mencoba men-jlentreh-kan (membicarakan dengan detail) soal big data yang dimaksud Muhaimin dan Luhut. Big data, kumpulan data postingan netizen di media sosial, yang kemudian menjadikan dasar untuk menunda pemilu. Kebetulan, perusahaan konsultan politik dan riset yang saya pimpin, Brand Politika, salah satu layanannya adalah, pengumpulan data ini untuk kemudian dianalisis, sesuai kebutuhan klien. Kami menyebutnya Monitoring dan manajemen media.

Mengutip Wikipedia, Big Data atau yang disebut sebagai mahadata, data raya, atau data bandang, yakni sebuah istilah umum untuk segala himpunan data dalam jumlah yang sangat besar, rumit, dan tak terstruktur. Sehingga menjadikannya sukar ditangani apabila hanya menggunakan perkakas manajemen pangkalan data biasa atau aplikasi pengolah data tradisional. Sederhana bisa jadi begini, sekumpulan banyak data yang pengolahannya perlu menggunakan aplikasi manajemen olah data.

Di Brand Politika, kami menggunakan aplikasi yang terhubung ke internet, untuk mengumpulkan secara otomatis setiap percakapan di media sosial (Twitter, Facebook, instagram, Youtube) dan media berita online, sesuai kata kunci yang diinginkan. Misalnya saja soal penundaan pemilu, maka kata kunci yang diinput di aplikasi; tunda pemilu, penundaan pemilu, pemilu ditunda dan atau tunda pemilu 2024.

Dengan kata kunci itu, setiap netizen yang posting di dinding medsosnya, atau mengomentari postingan orang lain dengan menulis dua suku kata tersebut, maka secara otomatis akan masuk atau ter-collect dalam sistem. Begitu juga berita di media online. Misalnya, sebuah akun menulis,“saya setuju pemilu ditunda”. Atau,”Janganlah sampai pemerintah menunda pemilu”.



Data yang masuk ke sistem, meliputi beberapa data terkait lainnya. Mulai dari akun netizen yang memposting, berapa kali di-share, berapa kali mention (menyebutkan) kalimat sesuai kata kunci dalam masa pantau, berapa dampak dari postingan yang disebut dengan istilah social media reach (SMR), ranking sebagai netizen paling banyak memposting kalimat sesuai kata kunci, hingga ranking sebagai akun paling berpengaruh. Ini ditentukan oleh jumlah followernya. Disebut berpengaruh, karena postingannya kemungkinan besar dibaca oleh followernya. Semakin besar followernya, semakin besar pengaruhnya, atau posisi rankingnya dibanding akun lainnya.

Monitoring ini menggunakan waktu atau masa pantau, sesuai kebutuhan. Jika masa pantaunya adalah sepekan, berarti, data yang masuk atau yang diolah adalah percakapan atau berita di media online yang diposting selama sepekan itu. Ada juga laporan dalam bentuk grafik, yakni jumlah mention dan jumlah SMR. Jika jumlah mention lebih tinggi dibanding SMR, berarti postingan atau mention hanya oleh akun dengan follower kecil. Sebaliknya, jika SMR lebih tinggi ketimbang jumlah postingan, berarti pembicaraan tentang penundaan pemilu misalnya, dibicarakan oleh akun yang punya follower besar. Jangkauan pesannya luas, seluas followernya.

Sistem juga bisa memantau jumlah mention terkait hastag sesuai kata kunci. Misalnya #Tundapemilu2024, #TolakTundaPemilu2024, akan tergambar, berapa mention untuk setiap hastag.

Kerja-kerja monitoring dan analisa data ini semakin rumit, ketika jumlah mention-nya besar. Seperti saat pilpres 2019 lalu, ketika kata kuncinya adalah ‘Joko Widodo’, atau ‘Prabowo Subianto’, data yang masuk bisa ribuan. Maklum, pilpres selalu menjadi momen sangat menarik bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan maraknya buzzer dan akun robot.

Untuk analisis, misalnya untuk mencari berapa banyak mereka yang tidak mendukung penundaan pilpres, maka bisa dengan cara menginput kalimat “tidak dukung pilpres ditunda” sebagai kata kunci pada kolom searching. Maka, data akan tersaji secara lengkap. Kita dapat melihat, siapa saja yang tidak mendukung, berapa SMR-nya, siapa akun paling berpengaruh, bahkan kita bisa melihat siapa yang pertama kali memposting sebuah tagar, sebuah video atau sebuah berita.

Sistem pun bisa mendeteksi akun-akun kembar. Kami kerap menemukan beberapa akun dengan nama yang berbeda, namun materi yang diposting sama, bahkan waktu postingnya pun sama, hingga detiknya. Tak perlu menganalisis terlalu dalam, kita langsung dapat menggolongkannya sebagai akun robot. Akun yang diciptakan dan dikelola sebuah sistem oleh satu orang atau lebih.

Inilah situasi yang tidak bisa menjadikan mention di media sosial, yang disebut Luhut dan Muhaimin dengan istilah big data, sebagai dasar untuk memutuskan perkara penting, penundaan pemilu. Big data ini terlalu banyak, ruwet, tidak valid, tidak bisa mewakili suara rakyat. Satu orang bisa mengendalikan banyak akun. Bahkan, untuk kepentingan survei sekalipun, big data ini tidak memenuhi syarat. Sebaran wilayah, jenis kelamin, hingga soal usia responden.

Big data yang berasal dari kegiatan monitoring media ini biasanya diperlukan untuk melihat kecenderungan sebuah isu, mengukur tingkat keberhasilan sebuah kampanye komunikasi, mendeteksi perbincangan negatif terhadap sebuah brand hingga mengukur dan atau membandingkan tingkat dibicarakannya sebuah merek dengan merek pesaing lainnya.

Sistem monitoring ini bisa memberikan nilai sentimen pada sebuah mention, untuk kategori sentimen positif, negatif dan netral. Sehingga pemilik brand dapat mengantisipasi ketika brand-nya dibicarakan secara negatif di media sosial.

Kegiatan monitoring ini memerlukan tenaga ekstra, terlebih ketika jumlah mentionnya terlalu besar. Mulai dari menentukan sentimen, hingga menghapus akun robot agar laporan monitoring tidak bias, atau salah dalam menganalisa.

Bayangkan saja jika akun robot tidak dikesampingkan atau dihapus, kemudian mempengaruhi laporan akhir dari kegiatan monitoring. Tentu strategi yang diambil bisa dipastikan salah. Mengambil kebijakan dari sebuah data yang salah.

Ini soal teknis. Belum lagi soal jumlah masyarakat yang menurut Luhut dan Muhaimin setuju penundaan pilpres. Mereka menyebutnya 60% dari 110 juta percakapan, tanpa menyebut masa atau waktu percakapan dimaksud. Banyak pihak yang meragukan data tersebut.

Apapun sebutannya; big data, mahadata, data raya, atau data bandang, tidak bisa digunakan sebagai dasar dalam menentukan penundaan pilpres 2024 sebagai amanah Undang-Undang Dasar 1945. Jangan menabrak undang-undang, karena memiliki konsekuensi hukum pula. Terlebih Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan DPR RI sudah memutuskan jadwal pemilu 2024. Big data, or big lust for power? (penulis adalah direktur eksekutif Brand Politika, konsultan politik dan riset).


16 views0 comments

Comentarios


bottom of page